Benua Maritim adalah nama yang
diberikan oleh meteorolog dan oseanografer Charles Ramage tahun 1968 untuk
kawasan Asia Tenggara yang mencakup Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini.
Terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Kawasan ini memiliki
meteorologi yang besar karena dianggap sebagai daerah sumber energi terpenting
di seluruh sistem sirkulasi global. Ada beberapa faktor yang membuatnya
penting, salah satunya adalah lokasi geografis dan topografinya. Keduanya
berkontribusi pada pembentukan Kolam Hangat Tropis, wilayah lautan luas
terhangat di Bumi.
Kehadiran kolam panas di
Indonesia yang secara rata-rata memiliki kisaran suhu permukaan laut sekitar 26
derajat Celsius hingga 35 derajat Celsius berdasarkan penelitian Syaifullah
2015. Nilai Suhu muka laut yang tinggi memberikan implikasi terbentuknya pusat
pusat konvektif awan diwilayah benua maritim Indonesia yang berasosiasi dengan
tingginya curah hujan bahkan intensitas tinggi. Peristiwa tersebut bahkan
menimbulkan efek lanjutan berupa bencana hidrometeorologis seperti banjir,
tanah longsor dan banjir bandang. Selain itu, awan konvektif tersebut juga bisa
menimbulkan kondisi cuaca buruk lain yang memberikan ancaman pada multisektoral
di Indonesia seperti Pertanian, Penerbangan, Pelayaran dan sektor lainnya.
Awan konvektif yang
menimbulkan kondisi cuaca buruk dan curah hujan tinggi ini disebut Thunderstorm
karena peristiwanya turut disertai adanya karena pelepasan muatan listrik dari
awan cumulonimbus secara mendadak seperti dikutip dari laman BMKG. Pelepasan
muatan litsrik ini ditandai dengan adanya hujan, angin kecang, kliat dan guruh.
Gerakan pelepasan muatan listrik menekan dan menabrak udara di sekitarnya
sehingga menimbulan bunyi.
Peristiwa thunderstorm sendiri
memiliki 4 jenis utama yaitu Single TS, Multicell TS Cluster, Muticell Line dan
Supercell. Selain itu juga terdapat fenomena turunan seperti Mesoscale
Convective Vorteks yang sebenarnya bagian dari Multicell Cluster TS. Single TS
merupakan kejadian thunderstorm dimana terbentuk hanya satu pilar awan
konvektif saja dan berlangsung sangat cepat biasanya berdurasi paling lama 1
jam. Berdasarkan beberapa penelitian terkait frekuensi kejadian atau analisis
spektrum TS nya, kejadian Single TS memiliki frekuensi kejadian terbanyak di
Indonesia dengan tingkat ancaman severe weathernya cukup kecil bahkan kadang beberapa
fenomena TS yang sangat kecil bisa dikatakan Non Severe Weather dengan tanda
kutip jika kejadian Single TS tidak menimbulkan dampak yang berat.
Jenis kedua yang sering
terjadi di Indonesia adalah Multicell TS baik jenis Cluster dan Line yang disebut
MCS atau mesoscale convective System. Bagian yang berbentuk cluster disebut
MCCs yang umum terjadi di perairan Indonesia seperti Laut Jawa, Selat Karimata,
Laut Arafuru. Kejadian ini memiliki durasi kurang lebih 6 jam dan selimut awan
sangat luas. Fenomena ini masuk kategori ancaman severe weather di Indonesia
karena kejadiannya menciptakan flash floods dan potensi tornado lemah. Jenis
MCS yang bentuk line juga sama Kondisi ancaman severenya yang umum terbentuk di
Sumatera atau Sumatera Squall Line.
Untuk supercell sendiri yang
kadang berasosiasi dengan pembentukan Derecho di Indonesia sendiri belum banyak
penelitian yang mendefenisikan kejadian ini di peristiwa hujan lebat dan
bencana hidrometeorologis di Indonesia. Untuk ancamannya Supercell dikategorikan
sangat berbahaya akibat downburst yang sangat kuat. Fenomena TS lain yaitu MCV
(Vorteks) yang sering dikaitkan dengan kejadian borneo vortex di Kalimantan
untuk Kondisi ancamannya sendiri bisa masuk kategori non-severe hingga severe
weather layaknya MCS I.

Komentar
Posting Komentar